![]() | ||
Tidak banyak orang-orang seperti Mas Swiss Winasis, Pak Baskoro, dan Mas Imam Taufiqurrahman Mungkin masih ada yang lain, tapi saya belum tahu. Di tangan dingin beliau-beliau, tulisan-tulisan ilimah dapat disampaikan dengan renyah. Seolah seperti berhadapan langsung dengan penulis. Tulisan-tulisan ilmiah dapat mudah dicerna, ibarat masuk obrolan warung kopi dengan berbagai macam sajian.
Tulisan tulisan ilmiah tentang temuan burung, perilaku menarik burung, dan jenis jenis hewan yang lain.
Saya menikmati dengan tulisan-tulisan beliau. Mas Swiss, lewat berbagai macam buku dan blognya. Pak Bas, saya masih menyimpan di majalah-majalah Fobi (dulu). Mas Imam selain lewat buku, juga lewat blognya. Memang tulisan tulisan beliau-beliau terutama yang di blog tidak terindek scopus, tidak terindeks sebagai jurnal, tapi nyatanya beberapa memang ilmiah. Kalau beliau-beliau menyebutnya sebagai "artikel ilmiah populer". Lha wong beliau-beliau itu, ndak butuh itu. Terindeks sebagai jurnalkah, scopus lah, dan lain-lain yang sifatnya admnistratif. Lha wong beliau-beliau juga bukan akademisi, kec Pak Bas SMG. Beliau akademisi, tapi sangat membumi. Sudah sudah ndak enak rasan rasan beliau. Salim sik kepada beliau-beliau.
Kalau dalam dunia llmu pengetahuan sosial keagamaan ada banyak sekali. Ada tulisan-tulisan Buya Syafi'i, yang terbit di salah satu kolom republika, buku-buku karya beliau; ada tulisan-tulisan Gusmus yang dulu sering dimuat di kompas, berikut buku-bukunya; Caknun, Cak Nur; Gus Ulil Absor, Pak Edi Mulyono; yang lebih muda lagi ada Gus Rizal, dan lain-lain. Beliau-belau ini memang sebagian bukan akademisi, tapi kapasitas ilmu pengetahuannya, jangan ditanya. Kapasitas ilmu pengetahuanya dapat terlihat dari cara beliau-beliau menyampaikan ilmu pengetahuan, dan pesan yang tersirat lewat tulisan-tulisannya. Pemilihan kata,penggunaan diksinya dan bahasanya renyah. Pengetahuan keagamaan dan sosial, jadi terlihat simpel dan mudah dipahami. Ah sudah lah, ndak kualat nanti, ndak berani bicara banyak tentang beliau-beliau. Salim sik kepada beliau-beliau
Barangkali memang artikel di bawah ini menjadi kritik Menarik untuk dibahas. Banyak akademisi, terutama dalam bidang sains, biar terlihat akademis selalu menggunakan bahasa-bahasa ilmiah, bahasa-bahasa formal yang cenderung susah dipahami. Tapi nyatanya memang begitu. Apalagi kalau jurnal-jurnal ilmiah bahasanya berat-berat.
Barangkali lewat Buku Atlas Burung Indonesia, menjadi sebuah ikhtiar (usaha) Mas SW dkk dalam membumikan sains pada masyarakat. Baik secara metode pengumpulan data, olah data hingga bahasa yang digunakan.
Selain itu, lewat Kopi sulingan upaya Mas Kaspo Mas Imam, dan Mas Kelik menjadi sebuah ikhtiar (usaha) dalam membumikan sains pada masyarakat. Barangkali lewat Fobi (dulu) Pak Baskoro dkk sebagai upaya membumikan sains dalam masyarakat dan masih banyak lagi.
Selain itu, lewat Kopi sulingan upaya Mas Kaspo Mas Imam, dan Mas Kelik menjadi sebuah ikhtiar (usaha) dalam membumikan sains pada masyarakat. Barangkali lewat Fobi (dulu) Pak Baskoro dkk sebagai upaya membumikan sains dalam masyarakat dan masih banyak lagi.
Coba survey ini, respondennya tidak hanya kalangan akademisi, yang memang secara defacto, atau secara sah menurut keilmuan dimiliki oleh akademisi (dalam hal Perguruan Tinggi). Tapi bukan berarti, ilmu pengetahuan hanya milik Perguruan Tinggi.
Tapi seolah memang, ilmu pengetahuan sains menjadi menara yang tinggi sekali, hanya bisa dijangkau oleh orang-orang akademisi. Padahal lewat jurnal-jurnal yang terindesk tersebut, juga belum tentu sampai menyasar ke masyarakat. Menyasar saja belum tentu apalagi membumi.
Coba respondennya ditambah dikit saja, kalangan NGO, komunitas-komunitas masyarakat, kalangan komunitas mahasiswa dll. Terutama komunitas petualangan, pecinta alam, pengamat burung, fotografer satwa liar dan lain-lain. Mereka membumikan sains tidak hanya lewat tulisan yang terbit di jurnal, yang terindesk internasional, scopuslah ata apapunlah, melainkan membumikan sains lewat "laku". Artinya lewat "action" Terjun langsung ke masyarakat, lewat obrolan warung kopi, lewat motret bareng dan lain-lain. Bicara sains terasa renyah, gurih seperti makan gorengan di warung. Mereka bicara sains, seperti halnya ngobrol biasa, basa-basi dll. Bicara membumikan sains, tidak hanya dengan jurnal dan publikasi, melainkan lewat obrolan warung kopi yang nyatanya lebih berarti.
Menurut artikel dibawah ini "dari sistem pemeringkatan jurnal ilmiah Scimago, menunjukkan tahun 2020 produktivitas riset Indonesia berada di posisi ke-21 dunia –naik 15 peringkat dari tiga tahun sebelumnya. Peringkat ini berpotensi terus naik seiring gencarnya budaya publikasi ilmiah di perguruan tinggi Indonesia" .
Toh, nyatanya peringkat publikasi naik, tidak berdampak sama sekali dengan kapasitas pengetahuan masyarakat luas. Hoax ada dimana-dimana, penambangan ada diimana-mana, konversi lahan ada dimana-mana, belum lama kemarin ada yang tanya babi ngepet ke Lembaga ilmu pengetahuan, dan masih banyak lagi.
Jadi saya kira, tidak relevan, bicara jurnal publikasi dengan membumikan sains. Jurnal publikasi hanya akan menjadi menara gading yang jauh sekali dari jangkauan masyarakat luas. Saya kira solusi memproduksi artikel ilmiah populer lebih cocok, ditambah dengan terjun ke masyarakat langsung.
* Tulisan ini saya buat dalam rangka menanggapi beberapa bulan yang lalu terhadap artikel ini "Kutukan ilmu pengetahuan: banyak akademisi lebih fokus ‘terdengar pintar’ daripada membumikan sains pada masyarakat" dan rasa hormat saya pada beliau bertiga.
* Tulisan ini saya buat dalam rangka menanggapi beberapa bulan yang lalu terhadap artikel ini "Kutukan ilmu pengetahuan: banyak akademisi lebih fokus ‘terdengar pintar’ daripada membumikan sains pada masyarakat" dan rasa hormat saya pada beliau bertiga.
0 Komentar