Papan Baliho " Kawasan Pelestarian Burung"  terletak tepat di depan Omah Kopi Sulingan. 


Mufti
: Kalau saya mengamati, masyarakat Jatimulyo, secara umum, mereka sudah menyadari pentingnya menjaga lingkungan, melindungi burung, dan kekayaan alam lainnya. Bagaimana itu Pak, cara menyampaikan dan mensosialisasikan pada masyarakat adanya UUD ini, hingga sampai membentuk kesadaran diri sampai tingkat individu?

ini luar biasa Pak. 

Pak Anom:  Tahun 2014 ketuk palu, disahkan Perdes No 8 tahun 2014. Perdebatan panjang, pembahasan demi pembahasan Per-Des ini, jauh sebelum disahkan.  Sudah disahkan artinya, sudah sepakat dengan semua isi Per-Des ini.  Saya tidak mau Mas, kalau masih ada yang belum sepakat, ya belum saya sahkan. Kalau dari elemen masyarakat, termasuk saya juga tidak mampu membahas atau membedah rencana Per-Des ini, kita datangkan pembicara dari luar yang berkompeten. Di bedah secara bersama-sama.

Dengan latar belakang seniman, saya itu bekerja untuk berkarya. Saya manfaatkan waktu, selama menjabat sebaik mungkin. Kantor Desa itu, hanya saya gunakan untuk transit. Selebihnya kantor saya bersama masyarakat, di rumah-rumah warga, di dusun-dusun, warung kopi, siang malam sama saja. Tidur jam 1 malam, kadang jam 2 malam menjadi hal yang biasa.

Masyarakat itu, mas, tidak bisa jalan kalau sosialisasi UUD, di undang rapat. Dengan undangan RAPAT Sosialisasi. Tidak bakalan jalan.

Sosialisasinya, lewat berbagai macam cara, salah saya lakukan sendiri secara tersirat lewat berbagai  forum, baik formal  maupun non formal. Lewat formal, rapat-rapat tingkat RT ataupun dukuh.  Meski rapat tingkat dukuh ataupun RT jarang secara formal. Non formal, dilakukan dimanapun diberbagai kesempatan bertemu, ngobrol dengan masyarakat.  Warung kopi, kebun, rumah rumah warga dan lain-lain.

Selain itu, saya sendiri mempunyai tim pada masing masing  padukuhan. Tim ini mempunyai tugas menjalankan program-program saya, termasuk sosialisasi Per-Des ini.

Jadi begini mas, mengajak masyarakat itu sesuai dengan segmennya masing-masing. Misal disana itu, segmennya komunitas seni.  Dulu ada komunitas seni, mari kita hidupkan seni ini dengan karya nyata.  Dengan membuat karya nyata.  Kita buatkan akte register, kita carikan pembinaan-pembinaan dan lain-lain. Nah setelah mereka dekat akrab dengan kita, baru kita mulai berbicara konservasi. Bahwa seni budaya tidak hanya menari, bermain drama, mendalan, menyanyi, tabuh gendang, tapi memelihara alam beserta isinya juga bagian dari seni budaya. Nah akhirya mereka kemudian menyadari, bahwa alam sekitar menjadi bagian  yang tidak lepas dari kehidupan dan keberlangsungan hidup masyarakat.

Selain itu, di tempat kami ada upacara adat, namanya Bersih Deso:  Saparan, Dzulqaidahan, Rezepan, dan lain-lain. Yang namanya bersih desa kan jelas membersihkan lingkungan, itu juga menjadi bagian dari konservasi. Pada pelaksanaannya, upacara Bersih Deso kegiatanya adalah kenduri, doa bersama dan lain-lain. Kemudian wawansanya kita perluas, dengan menyisipkan pengetahuan bahwa “ Bersih Deso itu tidak hanya itu, tapi juga kita kenalkan dengan membersihkan sumber mata air; menanam bibit tanaman;  melarang pohon ini jangan ditebang karena mengandung nilai sejarah; bebatuan ini harus kita lestarikan dan lain sebagainya

Nah upacara adat ini menjadi wadah komunikasi pemuda, yang  sebelumnya tidak akrab menjadi akrab, yang sebelumnya tidak kenal menjadi kenal. Setelah itu kita ajak berbicara, bahwa upacara adat kenduri terus selesai begitu saja. Namun ada nilai- nilai kearifan lokal yang perlu dipertahankan. Secara tidak langsung kita sampaikan pesan-pesan konservasi disana.

Termasuk, munculnya lembaga komunitas-komunitas masyarakat, misal: KTH (Kelompok Tani Hutan); KPM (Komunitas Peduli Menoreh); karang taruna dan lain-lain. Saya dulu membentuk karangtaruna di 12 Padukuhan.  Setelah terbentuk,  kita kumpulkan. Selanjutnya kita ajak bicara tentang konservasi; larangan merusak lingkungan; larangan berburu burung; tentang pentingnya menjaga kelestarian alam; dan lain-lain. Ternyata hasilnya  karangtaruna ini mampu menjadi pengawas konservasi di masing-masing padukuhan. Jika ada saudara, ataupun tetangganya yang berburu burung, mereka mengingatkan atau menegurnya.  

Satu lagi, tanpa dipungkiri kedatangan para mahasiswa hilir mudik setiap minggu sekali. Ada yang pengamatan burung; susur gowa; atau sekedar jalan-jalan melihat pemadangan, air terjun dan lain-lain. Hal ini secara tidak langsung juga membantu dalam proses sosialisasi dan penyadartahuan kepada masyarakat.

Berbagai kegiatan diadakan di Jatimulyo yang melibatkan masyarakat, mahasiswa,  dan lain-lain terjadi proses transfer pengetahuan. Ini secara tidak langsung membatu kami dalam sosialisasi sekaligus menyadartahukan masyarakat akan pentingnya Per-Des ini.

Terus terang Mas, saya senang itu ketika melihat objek ekowisata itu yang ada nilai “education” nya. Ada nilai pendidikanya dari masyarakat ke pengunjung, maupun sebaliknya. Setidak sepulang dari desa ini, ada “nilai pembelajaran” yang bisa dibawa.

Orang ke desa ini tidak hanya melihat pemandangan perbukitan, air terjun, hutan dan lain sebagainya, tapi juga melihat bagaimana burung diselamatkan.  Misal, lewat kegiatan adopsi sarang burung; pengamatan burung; ada yang kesini untuk belajar bagaimana kopi dipanen sampai  siap dikonsumsi; ada yang belajar memanen madu klanceng; dan masih banyak lagi.

Saat banyak orang ke desa ini, untuk berbagai tujuan, ada pemasukan ke masyarakat. Ada geliat perkonomian berputar disana. 

Setidaknya, sampai saat ini saya melihat sudah terjadi berbagai perubahan di Desa Jatimulyo, dibandingkan 10-12  tahunan yang lalu. Selain perubahan yang tampak fisik, juga ada perubahan sosial budaya masyarakat. Kalau dulu, ketika menjelang malam hari masih banyak anak-anak muda minum-minum keras dipinggir jalan, di perempatan, sekarang sudah tidak lagi.  Anak-anak muda malu untuk minum.  Sekarang, masyarakat tidak hanya peduli pada manusia, tetapi juga peduli pada lingkungan beserta isinya. Pohon, burung, ikan, dan lain sebagainya. Sekarang, banyak pemuda yang peduli pada desanya, peduli pada perkembangan desanya. Mau urun rembug pada perkembangan desanya. Menciptakan peluang-peluang perekonomian baru di desa.

Mufti: saya melihat ini luar biasa Pak (terus terang saya spechless saat beliau bercerita). Banyak sekali perubahan-perubahan yang bapak lakukan. Dampaknya hingga kini dapat dirasakan, tidak hanya lingkup Jatimulyo, tetapi juga masyarakat luas yang mengenal Jatimulyo.  Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari Desa Jatimulyo.  Selanjutnya, apa harapan Bapak, selaku Kepala Desa Demisioner sekaligus sebagai masyarakat desa Jatimulyo ?

Pak Anom : Saya kira ini menjadi PR bersama. Sekarang, terutama burung. Burung sudah terlindungi, masyarakat sudah tidak berburu burung. Selanjutnya adalah mengganti alternatif-alternatif lain sumber pendapatan masyarakat, selain berburu burung untuk dijual.

Bagi saya sebagai penulis, di Desa Jatimulyo konservasi tidak hanya menjadi llmu pengetahuan yang jauh dari di menara gading, melainkan menjadi "nilai" yang sudah mendarah daging. 

Salim kepada "orang-orang gila" dibaliknya. Pak Lurah, Mas Kaspo, Mas Imam, dan Mas Kelik. 

Tunggu episode cerita-cerita berikutnya tentang Jatimulyo.